Perjalanan [1]

“Jadi berangkat?” tanya seraut wajah yang tampak muram. Matanya yang teduh menatapku lekat-lekat, seolah enggan kehilangan kesempatan barang sedetikpun. Tatapan yang selalu saja membuat dadaku bergetar. Tatapan itu pula yang selalu kurindukan saat aku berkelana. Namun tatapannya kali ini nampak berbeda, ada mendung pekat yang membayang di pelupuknya.

“Iya Ras. Seperti yang kemarin sudah ku bilang padamu,” jawabku dengan hati-hati, tak ingin membuat mendung yang membayangi wajah manis itu berubah menjadi hujan.

“Berapa lama?”

“Aku belum tau.”

“Selalu saja begitu,” keluhnya. “Dan kau pasti juga akan menjawab tidak tau jika ku tanya hendak pergi kemana,” gumamnya lirih.

“Maafkan aku Ras.”

“Sebenarnya apa lagi yang kau cari Ar? Bukankah semua yang kau perlukan sudah ada disini? Kenapa kau tetap memaksakan diri untuk pergi?”

“Aku terlahir sebagai petualang, Ras. Aku tidak bisa duduk dengan nyaman menikmati semua hal yang melimpah seperti ini. Masih ada banyak pertanyaan yang harus kucari jawabannya di luar sana. Ini bukan tentang kepuasan materi, tapi tentang batin. Berdiam di sini membuatku manja & tidak belajar,”

“Seyakin itukah kamu akan menemukan jawaban diluar sana? Bagaimana jika jawaban itu ternyata ada disekitarmu? Di sini? Di dekatmu?”

“Andaikata aku tidak menemukan yang ku cari di luar sana setidaknya aku telah belajar banyak hal. Aku bertemu orang-orang baru, mengunjungi tempat-tempat baru, dan menemukan makna kehidupan sejati dari situ. Bukankah tidak ada yang sia-sia dari sebuah perjalanan? Dan jika memang jawaban itu ada di sini aku pasti kembali untuk menjemputnya”

“Kembali? Kapan?” tanya Laras sinis.

“Entah, aku tidak bisa memastikan,”

“Selalu itu jawabanmu, entah dan entah. Untuk apa kau datang jika akhirnya kembali pergi, Ar?”

“Bukankan memang tidak ada yang abadi dalam hidup, Ras? semua pasti akan datang dan pergi laksana angin yang berhembus. Aku tidak bisa memaksakan diri untuk terus disini, sementara jiwaku entah berada dimana.”

“Kalau itu memang maumu aku tidak bisa melarang. Aku tau kamu. Meskipun aku memohon sambil berlutut dan menangis sekalipun itu tidak akan mengubah pendirianmu. Pergilah! Aku akan menantimu disini.”

“Jangan. Kau lanjutkan saja hidupmu tanpa perlu menungguku kembali. Aku tidak ingin membebanimu sebagaimana aku juga tidak ingin terbeban dengan janji untuk kembali.”

“Apakah ini berarti kau tak akan kembali lagi kesini?” tanyanya dengan nada cemas.

“Aku tidak tau apa yang akan terjadi di depan. Aku tidak ingin menjanjikan sesuatu yang belum pasti. Kalau semesta menghendaki aku kembali, aku pasti akan datang untukmu. Namun daripada terlalu lama menunggu lebih baik kamu menjalani hidupmu sendiri.”

“Kau…”ucap Laras tercekat.

“Maafkan aku Ras, karena sudah membuatmu bersedih dan bergumul dengan ketidakpastian yang kuciptakan. Aku datang kesini untuk pamit. Keretaku berangkat sebentar lagi. Tetap jalani hidupmu ya, nona!” kataku sambil menepuk bahunya yang sedikit bergoncang karena menahan isakan.

Tak ada hal yang bisa kulakukan kepadanya selain itu. Meski tanganku sangat ingin memeluknya, namun itu urung kulakukan. Sebuah pelukan hanya akan memperumit keadaan dan memperparah kesedihannya. Aku tak ingin dia terus berharap. Lebih tepatnya aku tidak ingin terbebani dengan memberinya harapan. Aku sudah membawanya masuk terlau jauh pada permainanku. Kini saat yang tepat untuk mengakhiri semuanya.

Laras terdiam dan menatapku lekat. Untuk sepersekian detik aku mati rasa. Tatapan itu seolah menghipnotisku, membuatku berpikir untuk tetap tinggal dan mengurungkan kepergian, membatalkan semua janji yang kubuat, serta menukar tiket kereta yang ada di tangan.

Mendadak suara hatiku menggema, “kau tak boleh lemah, Ar! Mantapkan hatimu. Bukankah ini yang sudah kau tunggu sejak lama? Pergilah. Ambil kesempatan ini, sebelum kamu nantinya menyesal karena telah melewatkannya”. Aku pun bergegas. Kuambil carrier yang sedari tadi kuletakkan di beranda. Tak ada lagi yang ku katakan pada Laras. Aku membalikkan badan dan melangkah meninggalkan beranda. Saat aku sampai di pagar mendadak Saras berterik memanggil.

“Arauna…”

“Ya?” jawabku tanpa menoleh.

“Aku tau kau keras kepala dan susah diatur. Tapi kau juga harus tau bahwa aku lebih keras kepala darimu. Percayalah, jika nanti kau tidak kembali kesini aku yang akan pergi mencarimu. Meski kau tidak memberitahuku kemana kau akan pergi, aku pasti bisa menemukanmu. Tak peduli sejauh mana kau berkelana, Ar. Karena hatiku yang akan membawaku menujumu!” teriaknya dengan lantang dan pasti.

Aku tersenyum dan bergegas melanjutkan langkah tanpa menoleh sedikit pun. Samar-samar terdengar lagu Padi mengalun..

Kualunkan rinduku selepas aku kembali pulang / Tak akan kulepaskan dekapku /Karena kutahu pasti aku merindukanmu / Seumur hidupku selama-lamanya

Advertisement

9 thoughts on “Perjalanan [1]

  1. so swuiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttttttttttttttttttttt!! 🙂

    ini pisah-pisahan kok malah so swit mbak Nath? 😉

  2. #uhuk! arauna nama yang bagus, mirip seperti aruna yang berarti matahari… *maap komen ga nyambung* 😆

    Aruna lebih ke cewek, makanya aku bikin jadi Arauna mbak hehe. Kalo Baruna laut. Dia Arauna Acalajita (Pendaki yang tangguh & mampu menerangi laksana matahari) hehe

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s