“Kangen nggak perlu diucapkan, cukup dirasakan saja dalam hati. Nikmati sensasinya. Kalau sudah diucapkan jadi nggak kangen lagi nona,” katanya sambil mengacak-acak rambut saya. Dada saya berdesir. Saya selalu mudah jatuh hati pada lelaki yang memanggil saya nona. Dan mengacak-acak rambut, itu adalah bahasa sentuhan yang paling saya suka. Saya merasa kembali menjadi bocah kecil yang sangat dimanja serta dilindungi.
“Kamu dari mana Lan? Keliatan capek gitu. Kucel, jelek, bau” ejek saya sekaligus mengalihkan pembicaraan. Dia kembali terbahak. Kali ini lebih keras, hingga beberapa orang yang memadati Jalan Malioboro menoleh ke arah kami. “Ceritanya balas dendam nih?” ujarnya. Saya hanya tertawa. Seperti biasa, dia tak pernah mau menjawab tiap kali saya tanya dari atau hendak kemana. Dan entah kenapa mesti tau tak pernah ada jawaban pertanyaan itu tetap selalu saya tanyakan.
Malam itu Malioboro terlihat begitu ramai, manusia ada dimana-mana, meluber hingga ke badan jalan. Suara musik aransemen mas Ari Wulu terdengar dari sound sytem masive yang dipasang di beberapa ruas jalan. Gerombolan anak muda berkalungkan kamera DSLR dengan merk terkenal menyebar dimana-mana. Apa-apa di jepret. Padahal belum ada momen yang menarik. “Sok-sokan” kata Lana sinis. Saya kembali tertawa.
Saya ingat betul percakapan kami pada saat bersama-sama menyaksikan gladi bersih Solo Batik Carnival beberapa bulan lalu. Tentang bagaimana dia menceritakan ketidaksukaanya pada fenomena yang marak belakangan ini. Harga DSLR yang semakin terjangkau membuat orang-orang berduit gampang memilikinya. DSLR pun menjadi bagian dari barang wajib bawa untuk mendapatkan stempel gaul di jidat. Gaya bak fotografer terkenal, apa-apa di potret, padahal pake auto semua. “Sebenarnya aku nggak masalah sih mereka pada nenteng kamera kemana-mana. Cuma gayanya yang sok itu yang bikin aku nggak suka,” katanya pada waktu itu.
“Yang kamu maksud dengan sok itu piye?”
“Biar dibilang fotografer, biar dibilang keren mereka tentang kamera kemana-mana, gayanya belagu. Motret nggak ngerti etika. Ada orang sebelahnya lagi motret seenaknya aja dia nyelonong di depannya. Belum lagi dengan arogannya berdiri di depan sendiri tanpa memberikan kesempatan pada orang lain untuk menikmati pertunjukan. Nutupi panggung VIP. Seolah-olah dengan menenteng kamera dia boleh melakukan apa saja sesukanya asal gambar yang dia dapat bagus. Masyarakat biasa yang nggak ngerti akhirnya nggak respek sama mereka dan dipikirnya semua fotografer kayak gitu. Akhirnya kan fotografer beneran yang memang bekerja jadi kasihan.”
Percakapan beberapa bulan lalu yang masih terpatri jelas diingatan saya. Malam ini hal itupun kembali terlontarkan. Ya, malam ini Malioboro memang dipenuhi banyak fotografer baik pro maupun amatir. Tujuannya sama, ingin mengabadikan gelaran Jogja Java Carnival.
“Kamu liputan Sash?” tanyanya tiba-tiba.
“Iyapz. Sebenarnya sih udah ada fotografer kantor yang motret. Yang dibutuhin kantor cuma foto aja sih. Tapi berhubung aku dapat pinjaman kamera bagus kan rugi kalo nggak motret,”
“Kamu ni, dari dulu modalnya pinjem terus. Beli lah!”
“Duitnya belum cukup kakak! Nunggu menang lomba nulis Adira FOI dulu hahaha. 2 juta kan lumayan buat nambah-nambah. Kamu juga datang ke Jogja dalam rangka motret po piye?”
“Enggak. Aku aja nggak ada rencana buat ke Jogja. Tadinya abis caving dari Malang lanjut ke Gombong tapi ada temen Jogja yang mau bareng. Ya udah mampir aja. Eh nggak taunya ketemu kamu disini,β jelasnya. Tuh kan, kalo nggak ditanya abis darimana dia malah cerita sendiri. Dasar mahluk ajaib!
“Gitu ya. Ke Jogja nggak kabar-kabar. Coba kalo tadi kita nggak ketemu di Abu Bakar Ali, kamu lak mesti nggak ngabarin aku kalau di Jogja. Di sms juga gak pernah bales.”
“Bukan gitu nona. Beberapa bulan yang lalu aku abis keilangan ransel lengkap dengan HP, laptop, & kameraku. Makanya aku nggak pernah balas smsmu. Aku juga bingung mau ngabarin piye, gak apal nomermu soalnya”.
“Oawalaaaaaah. Pantes. Sini kasih nomer barumu. Aku pikir kemarin kamu lenyap dimana gitu. Makanya bikin FB pa twitter dong kakak, biar mudah dihubungin! Orang kok anti social media,” semprotku.
Dia tersenyum dan menyebutkan 12 digit angka. Kerumunan orang semakin banyak, dan kami berdua terus berbincang tentang apa saja sambil melangkah menuju utara. Jam di pergelangan tangan Kelana sudah menunjukkan pukul 18.30. Saat hampir memasuki Altar aku menyarankan dia untuk memakai ID cardku, supaya dia bisa melenggang masuk & menemaniku di media center. Tapi bukan Lana namanya kalo tidak menolak. “Aku nggak ada kepentingan dalam acara ini Sash. Lagipula itu IDmu. Pake aja. Aku lihat dari sini aja bareng orang-orang. Di dalam mesti nggak asyik. Gak ada seni desak-desakannya.”
“Lah tapi aku masih pengen ngobrol ma kamu”
“Ah kamu ini terlalu melankolis. Besok masih ada waktu. Aku di Jogja masih beberapa hari kok. Lagian kan kita bisa sms-an. Sudah sana kamu masuk aja nona wartawan!” desaknya sambil memamerkan -senyum paling menyebalkan. Dia pun duduk di trotoar dekat dengan Bank BNI. Dengan berat hati saya meninggalkannya menuju Alun-alun utara. Satu jam kemudian gelaran JJC pun dimulai. Saya asyik mengambil gambar sehingga tak peduli dengan HP yang beberapa kali bergetar. Setelah kembang api terakhir padam baru saya rogoh kantong celana untuk melihat HP. 1 missedcall dan 3 sms dari Kelana.
Sash, aku pulang. Dpt panggilan mendadak dr Bandung. Aku naik Kahuripan. Maaf g nepatin janji. Smoga lain waktu bs ktemu. [19.48]
Km jgn klayapan terus. Selesaikan skripsi. Abis itu kita blusuk’an bareng. Baik-baik di Jogja ya nona. Salam buat mas petualangmu. [19.52]
Oya, jangan lupa kirim foto JJC ke emailku ya. Penasaran kamu sudah sejago apa motretnya. Haha! [20.04]
Ah Kelana. Selalu begitu. Datang dan pergi sesukanya! Menyebalkan! Tapi justru karena itu dia bisa menjadi kawan yang menyenangkan. Ya, semoga kita masih diberi kesempatan untuk bertemu lagi Lan. Saya pun mengetik kalimat singkat sebagai balasan.
“Hati2 jelek! Jogja (dan aku) menantimu!”
aih…
aku ikut berdesir-desir bacanya π
aku ikut berdesir saat iya mengucapkan “Kangen nggak perlu diucapkan, cukup dirasakan saja dalam hati. Nikmati sensasinya. Kalau sudah diucapkan jadi nggak kangen lagi”… hahaha sosok yg cukup mampu mencairkan suasana menjadi konyol dan menyenangkan. salam untuk Kelana.
bagi beberapa orang DSLR jadi barang pelengkap “kegaul-an” tapi bagi jurnalis atau fotografer, DSLR adalah senjata
Saya juga batal bertemu teman di JJC kemarin :).
kangen tak perlu diucapkan.. hmm.. jadi ingat ucapan seseorang π
fotonya bagus-bagus… coba ada foto para penontong yg bayar ya? mungkin saya bisa menemukan sosok seseorang diantara mereka π
hihihihi.. heeh, kemarin dia bilang, dah pesan tiket yg kata Shasha bisa maem mangut lele kesukaan sri sultan, suri bilang ke dia, ga seru, lebih enak nonton yang di jalan, rame-rame, bisa godain peserta karnaval yang cantik-cantik atau malah kenalan dengan sesama yg nonton, siapa tahu jodoh .. dan dia akhirnya mikir, bener juga ya? terus iki piye tiketnya? katanya, suri bilang buang aja, dia marah-marah hahahahahaha
Kelana yang kemana-mana akan selalu ada di**** ^_^ ga perlu diucapkan tapi dirasakan aja ^_^ terus BERKARYA … mari …
salam buat kelana… π
Saiya jg nitip salam buat Kelana dehh…salam kenal…^_^