Matahari belum juga sepenggalah tingginya saat sepeda motor melaju kearah Gunungkidul. Tidak seperti perjalanan biasanya, kali ini semangat, energi, dan mood saya sedang benar-benar di level maksimal. Sinar matahari pagi menyusup melewati celah pepohonan dan membias di atas dedaunan. Embun pagi yang tertimpa cahaya mentari mulai menguap perlahan, menyisakan bau basah yang melenakan. Sepanjang jalan saya berdendang. Sepertinya semesta sedang berkonspirasi untuk mendukung perjalanan saya.
Perjalanan saya kali ini bukan semata pemenuhan tugas pekerjaan, tapi lebih ke penggenapan mimpi dan obsesi yang sudah bertahun-tahun mengendap di kepala dan hampir saja ternafikan. Untung tanpa sengaja saya berkenalan dengan Pak Cahyo Alkantana lewat pesan-pesan singkat di ponsel, hingga akhirnya obsesi yang meredup muncul kembali ke permukaan. Bagai gayung bersambut, keinginan saya untuk menyembangi tempat tersebut pun difasilitasi. Beliau mengenalkan saya dengan kawan-kawan HIKESPI yang akan menjadi instructur selama bertualang. Ya, dan hari ini akhirnya saya berada di Jomblang Resort lengkap dengan SRT-set serta coverall, sebagai satu-satunya cewek dari 5 orang yang akan memasuki relung bumi.

Berdasarkan pengalaman teman saya yang pernah caving di Jomblang bareng kawan-kawan ACY, sebelum caving mereka akan belajar serta praktek teknik SRT lebih dulu di atas. Namun entah kenapa kali ini instructur saya, Mas Pitik, tidak memberikan ‘pelatihan singkat’. Dia hanya menjelaskan tentang nama dan fungsi dari peralatan yang kami. Dia juga berujar “Nanti naiknya nggak ditarik ya mbak, kita main fisik sedikit lah, itung-itung olahraga,” saya hanya manggut-manggut. Beruntung sebelumnya saya pernah ‘mainan tali’ sehingga tidak begitu asing dengan peralatan tersebut. Bahkan sebagai pemanasan sebelum caving di Jomblang saya sempat ikutan panjat dinding di kampus bareng anak-anak PA-nya Mas Pacar. Sedangkan kolega saya yang kali ini akan turut caving hanya berujar pelan “Aku sama sekali belum pernah mainan tali, Sha.”

Aroma khas tanah karst dan tanaman jati tercium dengan tajam. Saya menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara sebanyak-banyaknya dan menghembuskan perlahan. Excited & nervous, itulah yang saya rasakan kali ini. Antusiasme yang berlebih berpadu dengan rasa gamang rupanya membuat saya merasakan ada kupu-kupu beterbangan di perut.
“Sudah sarapan kan mbak?” tanya Mas Pitik yang berjalan di sisi saya menuju bibir Gua Jomblang. Saya hanya tersenyum. “Eh serius lho, kalau belum sarapan mending makan dulu. Aku nggak mau ambil resiko. Kita bakalan ngeluarin banyak tenaga di dalam. Daripada nanti kenapa-kenapa mending sekarang makan dulu,” tegasnya. Bagaimana mungkin saya bisa sarapan dengan perut yang penuh kupu-kupu seperti sekarang? Teriak saya dalam hati. Sedangkan yang terucap dari bibir adalah sebaliknya, “Udah kok mas, tadi pagi sebelum berangkat,” jawab saya. Okay kebohongan pertama dimulai.
“Sudah ijin keluarga kan? Bapak, ibu, pacar? Kalo belum mending telpon dulu sekarang sebelum kita masuk nih,” tanyanya sekali lagi sembari senyum.
“Uhmm, udah kok”. Yak, kebohongan kedua. Mana mungkin saya ijin ibu saat melakukan hal-hal seperti ini. Pasti ujung-ujungnya dilarang. Mending kalau sudah selesai baru pamer foto-fotonya. Sedangkan Mas Pacar? Ah bukankah dia yang mewanti-wanti saya tentang beberapa hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta apa saja yang harus dipersiapkan sebelum caving. Jadi gak perlu ijin pun dia sudah paham.
Berhubung ini kali pertamanya saya caving di gua vertikal, kawan-kawan dari HIKESPI mengajak untuk masuk melalui jalur VIP, jalur yang paling pendek dan mudah. Jalur VIP ini tidak langsung blank spot, melainkan harus menyusuri slope yang curam lebih dulu sekitar 15 meter, setelah itu baru turun lewat tali sekitar 20 meter. Jalur ini pula yang dipakai oleh Putri Raja Arab saat caving di gua ini. Saat berjalan menyusuri slope detak jantung saya semakin meningkat dan tangan saya menjadi berkeringat. Untung teman-teman seperjalanan saya ini adalah sosok-sosok yang menyenangkan. Meski baru pertamakali bertatap muka kami sudah serasa kawan lama yang saling melempar joke sesukanya bahkan sedikit-sedikit melacur alias melakukan curhat. Apalagi kalo bukan masalah cinta yang akhirnya berujung galau hahaha (lirik mas Pitik).

Orang pertama yang menuruni tali adalah Mas Tewel. Setelah itu terjadi diskusi, akankah saya atau Rizal terlebih dulu. Berhubung saya ingin punya waktu lama untuk mengambil video di dasar gua, akhirnya saya meminta untuk turun lebih dulu. “Saiki koe kudu musrik mbak. Percayakan hidupmu padaku dan pada tali,” kata Mas Pitik sesaat sebelum saya mulai turun. Yeah believe in your rope. Menggantung di ketinggian yang berjarak puluhan meter di atas tanah, jika terjadi sesuatu tak ada yang bisa menolong. Kali ini saya benar-benar menggantungnya nyawa pada seutas tali kernmantel. Meski awalnya gugup, saat sudah melayang di ketinggian rasanya berganti dengan riang tak terkira. Hey bird, look at me! Now I can fly like you! Sayapun bergerak turun, hingga akhirnya kembali menjejak di atas tanah.

Setibanya di dasar Gua Jomblang pemandangan yang berbeda menyambut. Jika di atas yang terlihat hanyalah tanah kering dengan pohon jati yang daunnya meranggas serta berguguran, maka di bawah nampak pohon-pohon entah yang menjulang dengan gagah. Mereka tumbuh dengan rapat dan subur. Menurut cerita yang pernah saya dapat dari Mas Nafik, pohon-pohon ini merupakan pohon langka yang jarang bahkan mungkin hampir tidak ada di permukaan. Hutan purba yang ada di dasar Gua Jomblang ini berasal dari tanah beserta vegetasinya yang ambles ribuan atau jutaan tahun lalu. Vegetasi tersebut terus tumbuh dan berkembang sehingga menciptakan hutan purba yang cukup rapat. Sayangnya dalam tim yang caving hari ini tidak ada ahli botani atau anak biologi sehingga tidak bisa menjelaskan tentang vegetasi tersebut.

Kami pun melanjutkan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak yang ada di dasar gua menuju sebuah ceruk yang besar. Saya pikir itu adalah entrance menuju Gua Grubug yang terkenal dengan cahaya surganya. Rupanya bukan. Ceruk besar itu buntu. Biasanya berfungsi sebagai tempat berteduh atau beristirahat kawan-kawan yang baru saja dari Gua Grubug. Aroma lumpur yang lembab dan basah tercium dengan jelas. Aroma khas gua yang menjadi candu kawan-kawan cavers, aroma yang membuat mereka selalu ingin menyambangi ceruk-ceruk besar dan lorong-lorong gelap di dalam tanah.


“Sekarang kita ke mana?” tanya saya
“Ke Grubug, kita turun lewat sana, terus ikuti lorong itu. Nggak jauh kok,” jawab Mas Pitik sambil menunjukkan jalan setapak menurun yang menuju ceruk yang jauh labih besar dari ceruk pertama. Kami pun berjalan beriringan. Gelap mulai terlihat, headlamp dan boom mulai pun dinyalakan. Jantung saya berdetak kencang. Saya tak sabar untuk melihat cahaya surga yang ada di balik lorong… (bersambung)
Jogja, 22 September 2011
Kisah Negeri Bawah Tanah selanjutnya “Cahaya Surga di Gua Grubug”
sepertinya ini hanya sedikit berhubungan dengan ketinggian ya… menarik!
cieeee….
ikuuuuuuuuuuuuuuuuuttt!!!! 😀
mbabuku malah ra sido ngantuk…
piye..piye,.. kapan kencan kita ke sana..?
ikut nyimak nyambi nunggu lanjutannya mas sash!
sekali turun biaya brp yaa?
lha kok rung rampung tulisane sha
adeknya si captain itu anak caving gitu, apa namanya ASC? apa jangan-jangan kenal yo sama Sha? jadi pas maen ke rumah mereka, aku nemu beberapa foto goa gitu juga.
err..cuman mau nanya, bajunya kalau cewek emang beda sendiri yah? ijoh gituh?
(iya tahu, nanya nya gak penting deh…)
salah pulak nyebut namanya! begini nih kalau sok akrab 😦
maaf yah Mbak Sash, aku emang suka sok akrab gitu deh 😛
ini satu2nya tempat saya “mempertaruhkan nyawa” demi bisa menikmati keindahan goanya dengan harga murah dan pasti alat sekedarnya dari operator kacangan … udah phobia ketinggian vertikal, ditambah alat “seikhlasnya” … bodoh memang, tapi ini terpaksa dilakukan demi memotret plus melawan keterbatasan dana, hehehe.
tapi secara keindahan, goa ini SANGAT RECOMMENDED untuk dikunjungi temen2 sekalian. salam… 😀
hehe, jangan2 itu saya :p … kalo hampir mati sih enggak ya, cuma “becanda” sama maut imut2 itu doang kok :D. iya bener juga sih anak2 PA sama komunitas caving. tapi wong dasarnya cupu jadi temennya sedikit mbak, boro2 anak PA, anak TK aja ga ada yang mau kenal jeh *apasi* … xixixi
kalo sempet mampir2 mbak ke blog saya, btw salam kenal ya … ^^
hihihi, maap, ga sengaja ;p … wahh, terimakasih ya untuk mampir sama langganannya, saya jadi terharu ^_^ …
*sambil sesenggukan dipojokan gerobak bakmi mbah mo____eh tapi kok jadi terharu dalam artian negatif ya @,@, yaudah ga jadi sesenggukan deh kalo gitu :p
[…] turun ke Gua Jomblang. Iya GUA JOMBLANG yang cihuy abis itu. Yang ceritanya pernah saya tulis di sini dan di […]
[…] Kalisuci kami sedang berbincang mengenai hal-hal teknis dan apa saja yang harus dipersiapkan untuk caving di Jomblang esok hari. Di sela-sela obrolan santai dan penuh tawa itulah Mas Gugun berkisah soal pengalamannya […]