“Anda tak harus mati terlebih dahulu untuk bisa melihat cahaya surga,” kelakar Pak Cahyo Alkantana dalam acara Kick Andi episode pelesir unik di Indonesia. Cahaya Surga, sebuah ungkapan yang menggambarkan keindahan ray of light yang ada di Gua Grubug, gua yang sebentar lagi akan kami sambangi. Tak berbeda dengan Gua Jomblang, Gua Grubug juga merupakan gua vertikal alias gua yang berbentuk sumuran sehingga masyarakat setempat lebih sering menyebutnya sebagai luweng. Pantas saja sebelum kami menuruni Gua Jomblang seorang bapak tua bertanya “badhe teng luweng mas?” (Akan ke luweng, mas? –red).
Untuk memasuki Gua Grubug ini ada 3 jalur, yaitu lewat Gua Jomblang kemudian menyusuri lorong yang menghubungkan Jomblang-Grubung, turun langsung dari entrance Gua Grubug dan SRT-an kurang lebih 90 meter, atau lewat Jomblang Kiri dengan medan yang sangat ekstrim. Untuk opsi kedua hanya boleh dilakukan oleh caver yang sudah bersertifikasi, opsi ketiga juga begitu karena membutuhkan skill khusus dan fisik yang kuat. Jalur ketiga ini baru saja dilewati pak Cahyo Alkantana dan tim saat syuting Teroka KompasTV edisi Jomblang-Grubug. Dan saya? Tentu saja masuk melewati jalur yang paling aman dan gampang, jalur pertama.

Dari dasar Gua Jomblang, kami pun bergegas menuruni jalan setapak yang curam dan licin menuju sebuah chamber yang sangat besar. Sambil berpegangan pada batu-batu berlumut saya pun melangkah dengan hati-hati. Sepatu boot yang saya pakai membuat kaki sulit untuk melangkah. Belum lagi ditambah lumpur yang menempel dibawahnya, membuat langkah semakin berat. Saat saya protes tentang hal itu, dan kawan-kawan hanya tertawa sambil berujar “Yang bikin caving jadi agak susah tuh emang di sepatunya, Sha. Kita emang jadi nggak bisa bergerak terlalu bebas” Ouch, andai bisa nyeker…
Setelah sampai di bawah ternyata ada kotak-kotak beton yang tertata rapi seperti jalan setapak. “Dulu sempat ada wacana kawasan ini akan dibangun menjadi tempat apa gitu, makanya beton-beton diturunkan dari atas. Untuk proyek tersebut tidak jadi diteruskan,” jawab Mas Pitik atas keterkejutan saya menyoal baton-beton tersebut. Saya hanya manggut-manggut sambil bersyukur untung pembangunan tidak jadi dilanjutkan sehingga keaslian gua ini masih tetap terjaga.
Perjalanan kami kali ini dilanjutkan melewati kegelapan yang sunyi. Headlamp dan bong yang terpasang di helm menjadi penerang jalan. Selain langkah kaki yang perlahan, bunyi yang terdengar hanyalah suara titik-titik air yang menetes dari stalaktit serta kepakan sayap serangga. Setelah heboh di Jomblang, kali ini kami memang memilih untuk berdiam. Sejenak menikmati kesunyian di relung bumi, kesunyian yang tidak membuat bulu kuduk berdiri namun menggiring tiap hati untuk berkontemplasi.

Tak berapa lama berjalan saya mendengar suara gemuruh dari arah depan. Semakin lama suara tersebut semakin besar dan membuat jantung saya berdetak kencang. Antara senang sekaligus gamang. Sempat menelusup rasa takut yang tak terdefinisikan. Seberkas cahaya juga mulai terlihat, semakin lama semakin jelas. “Itu cahaya surganya,” kata Mas Japrak. Hati saya bersorak. Saya pun mempercepat langkah, begitupula dengan keempat kawan saya. Saya tak sabar untuk segera menyaksikan apa yang menjadi impian saya selama ini, cahaya surga Gua Grubug.

Ribuan sinar putih terlihat dari mulut gua yang sempit, meluncur turun hingga ke dasar gua. Sinar tersebut membias ke segala penjuru, menciptakan lukisan alam yang sangat sempurna. Lidah saya tercekat, saya tak mampu berkata-kata lagi. Ini benar-benar luar biasa. Sangat indah, bahkan jauh lebih indah dari apa yang saya bayangkan. Untuk beberapa lama saya hanya terdiam di bawah guyuran cahaya surga tersebut. Menikmati momen luar biasa yang saya tak yakin apakah bisa terulang atau tidak. Teriakan dari kawan-kawan instructur lah yang kemudian menyadarkan saya.
Kami pun mulai mengexplore sudut-sudut gua ini. Tangan saya tak henti-hentinya memainkan kamera, mencoba menangkap semua hal yang saya rasakan dan saya lihat melalui sebuah gambar. Cahaya yang dilukis menggunakan cahaya. Di depan saya nampak sebuah batu besar yang tersusun dari mineral kalsit berwarna putih susu. Batu yang juga menjadi icon Gua Grubug. Sedangkan di bawah mengalir sungai bawah tanah yang masih satu sistem dengan Kalisuci dan bermuara di laut selatan. Sayang kali ini kami tak membawa life vest, sehingga kami tidak turun ke sungai untuk sekedar body rafting atau menyentuh airnya yang jernih dan dingin.


Keindahan cahaya surga Gua Grubug ini telah melegenda dan terkenal hingga luar negeri, karena itu tak heran jika tahun 2011 lalu Gua Grubug dijadikan lokasi syuting Amazing Race USA. Selain keindahannya, ternyata Gua Grubug memiliki sejarah yang kelam, yakni pernah dijadikan lokasi pembantaian manusia puluhan tahun yang lalu. Orang-orang yang dianggap penghianat dan bersalah disuruh berdiri di mulut gua, kemudian ditembak dan jatuh ke dasar gua. Mayatnya kemudian hanyut hingga ke laut. Mengingat hat tersebut bulu kuduk saya langsung meremang. Untung saat ini kekejaman masa lalu tersebut sudah tidak tersisa.
Berada di tempat seindah ini membuat waktu serasa berhenti. Detik-detik yang telah dilalui sama sekali tak terasa. Tubuh yang mulai menggigil lah yang membuat kami sadar bahwa kami sudah cukup lama di Grubug. Meski kami memakai coverall, tetesan air yang menerpa kami dan kondisi bawah tanah yang lembab membuat kami merasakan dingin.

Sebelum beranjak pulang Mas Pitik sempat memperlihatkan ukiran mineral kalsit yang berbentuk hati. “Ini batu cinta” katanya. Saya perhatikan dengan seksama, dan memang batu tersebut berbentuk hati. Seketika pikiran saya random. Selain di puncak gunung sambil menyaksikan sunrise, saya mau dong dilamar di tempat ini, hehe. Di atas batu hati, di bawah guyuran cahaya surga, dan diiringi merdu harmoni piroklasi. Mendadak saya merasakan genggaman lembut di tangan, sembari terdengar ucapan “Will you marry me?”. Ouch…..
Kisah Negeri Bawah Tanah Sebelumnya: Gua Jomblang dan Mimpi yang Terwujud
Kisah Negeri Bawah Tanah Selanjutnya: Harmoni Piroklasi dan Mimpi-Mimpi Baru yang Menanti
boleh komen soal foto terakhir gak sih? boleh ya.. ya.. ya…fotonya kereeen! dan haduuuh..ciamik sekali gambarnya, jadi kebayang dilamar beneran di sono *drama deh ah.. 😀
salam kenal lagi Mbak Sash 🙂
hiyaaaa…..
Mba Sash!!! aku ora ngomentari tulisane, opo meneh potone.
mek pengen protes, iku link blogku yang tersemat di tautanmu, namanya salah!
hayo, diganti disek..
edisi selanjutnya gek ndang diposting… tak siap2 nggelar kloso.. 😀
yang saya belum mudeng masih foto terakhir..kuwi njur arep kapan le neruske?ha..
Wah, menyenangkan sekali. Terima kasih sudah berbagi cerita 🙂
Btw, bgmn caranya menuju Jomblang dari Jogja? Bisa naik kendaraan umum seperti Bus?
Dan berapa biaya tinggal di Jomblang Resort+Caving nya?
Suwun 🙂
apik tenan mas
mas mas…..wkwkwkwkwkwkwk……….
kalau biaya untuk turun ke luwengnya brp tu?ada gak petunjuk arahnya dari gunung kidul kota menuju luweng grubug
ihiiiirrr…ngierrr bener ma gunung Jomblangnya….sukaaa bingit hehe
[…] menganjal. Ada kelabu yang menggelayut di langit dan menutup mentari. Alamat tidak bisa melihat “cahaya surga” dengan sempurna nih, pikir […]
[…] dan sungai tertutup yang mengalir di dalam tanah alias di dalam gua (termasuk mengalir melewati Gua Grubug) dan bermuara di Pantai […]