Ruwatan Anak Gimbal, Tradisi Unik dari Dataran Tinggi Dieng

gimbal

Hari masih pagi ketika rombongan kirab melintas di depan penginapan yang saya tinggali. Suara musik tradisional seperti rebab, kendang, dan angklung berpadu dengan riuhnya para penonton yang memadati ruas jalan. Saya pun tak mau ketinggalan, bergegas saya berlari menuju kerumunan dan ikut berdesak-desakan dengan para penonton.

Pagi ini Kawasan Dataran Tinggi Dieng memang tak seperti biasanya. Ribuan orang dari berbagai daerah berdatangan ke tempat ini untuk menyaksikan salah satu budaya lokal yang masih lestari. Rupanya selain memiliki bentang alam nan indah dan mempesona, Dieng juga menyimpan eksotisme budaya berupa prosesi Ruwatan Bocah Gembel. Tradisi pemotongan rambut gimbal milik anak-anak yang dilangsungkan setahun sekali ini memang menarik banyak wisatawan karena unik dan tidak dijumpai di tempat lain.

4 dieng

Saya pun membaur dengan rombongan yang berjalan menuju Kompleks Candi Arjuna. Di gerbong kirab paling belakang, tampak sebuah kereta kelinci yang dinaiki oleh anak-anak kecil berikat kepala kain putih didampingi dengan orang tuanya. Bocah-bocah inilah yang menjadi tokoh utama dalam prosesi ruwatan pagi ini.

Bocah dengan rambut gimbal atau yang dalam bahasa lokal disebut gembel, dipercaya merupakan keturunan dari penghuni pertama kawasan Dieng, Kyai Kolodete. Fenomena rambut gimbal ini sangatlah unik. Awalnya rambut si bocah tumbuh dengan normal seperti anak-anak pada umumnya. Kemudian pada suatu waktu si bocah mengalami demam tinggi hingga sering mengingau. Setelah sembuh maka akan muncul rambut yang menggimbal. Kadang hanya sedikit, namun bisa juga banyak. Rambut gimbal ini tidak boleh dipotong sebelum si bocah memintanya. Konon, jika orangtua memotong paksa rambut yang gimbal tersebut, maka si bocah bisa sakit dan gimbalnya akan muncul lagi.

Prosesi ruwatan bocah gembel tidak hanya dilangsungkan dalam waktu satu hari. Beberapa hari sebelum acara puncak, telah dilakukan ritual dan doa di beberapa tempat agak acara dapat berjalan dengan lancar. Tempat-tempat yang dianggap keramat tersebut antara lain Kompleks Candi Arjuna , Candi Dwarawati, Candi Bima, Candi Gatotkaca, Sendang Maerokoco, Telaga Balaikambang, Telaga Warna, dan Kawah Sikidang. Selain doa di beberapa tempat, pada malam sebelum pencukuran dilaksungkan jamasan atau pencucian pusaka yang hendak dibawa kirab.

gembel 3

Tak terasa rombongan kirab telah tiba di Sedang Maerokoco yang terletak di utara Darmasala Kompleks Candi Arjuna. Di bawah pohon besar, beberapa tokoh adat nampak komat-kamit membaca doa. Bau kemenyan dan bunga memenuhi udara. Kemudian seorang perempuan dengan pakaian tradisional jawa menyeka wajah bocah-bocah gimbal dengan air kembang yang diambil dari sendang.

Setelah prosesi pemandian bocah-bocah gimbal selesai, acara pun dilanjutkan di Kompleks Candi Arjuna. Satu persatu bocah dipanggil naik ke candi, kemudian rambutnya yang gimbal dicukur oleh pemangku adta maupun tokoh masyarakat. Ekspresi bocah-bocah tersebut sangat beragam. Ada yang tersenyum-senyum kegirangan, ada yang menjerit ketakutan, hingga menangis meraung-raung. Namun biasanya hal tersebut tidak bertahan lama, karena pad aakhirnya anak-anak akan kembali ceria. Kemudian rambut gembel yang sudah dipotong akan dibawa oleh tetua adat ke Telaga Warna dan dilarung disana sebagai simbol pembuangan sial.

gembel 2

Satu hal yang cukup menarik dari ruwatan ini yakni adanya benda-benda tidak lazim di pelataran candi. Dalam budaya Dieng, anak yang akan dicukur rambutnya boleh meminta apapun sebagai syarat dan orangtua wajib mengabulkannya. Beberapa anak yang sudah sekolah biasanya akan meminta benda-benda berharga seperti sepeda mini, kalung, atau anting-anting emas. Namun anak-anak yang masih kecil biasanya akan meminta hal-hal sepele seperti ikan pindang 10 keranjang, telur ayam 1 baskom, 5 ekor bebek, tempe bacem 1 keranjang, atau seporsi ayam goreng dan sate. Semua permintaan tersebut akan dipenuhi dan diletakkan di pelataran candi tempat mereka dicukur.

5 dieng

Tanpa terasa satu persatu anak telah naik ke atas candi dan selesai dicukur. Pemangku adat pun mengumumkan bahwa acara puncak ruwatan bocah gembel telah usai. Meski upacara telah usai, bukan berarti acara hari itu berhenti, karena selanjutnya ada pertunjukan kesenian tradisional oleh berbagai kelompok. Saya pun tetap tinggal di pelataran candi menyaksikan jathilan hingga sore menjelang.

ps: tulisan ini pernah saya upload di website adira FOI dan menjadi salah satu pemenang dalam penulisan artikel #budayanegeriku. Ditayangkan lagi di blog pribadi dalam rangka menyambut Dieng Culture Festival ke IV, 28-30 Juni 2013

7 thoughts on “Ruwatan Anak Gimbal, Tradisi Unik dari Dataran Tinggi Dieng

  1. Ini bukan yg tulisannya di jiplak majalah itu Sash ?
    dan tak kira ini sudah mulai lagi DCF nya πŸ™‚

    Hihihihi, bukan bu. Yang diplagiat sama Batavia Air Magazine kan yang tentang Jomblang πŸ™‚
    iya, ini DCF sudah mulai hari ini, makanya itu berhubung baru bisa kesana hari minggu sekarang update blog dulu aja πŸ™‚

  2. saya dulu waktu KKN UGMN di Wanayasa sama dieng, dua bulan disana, baru tau klo ada acara beginian…

    Dari dulu acara ini sudah ada, Mas. Cuma kalo dibikin festival ini memang baru masuk tahun ke 4 πŸ™‚

  3. Dieng… my next destination…..

    Silahkan berkunjung, Mas. Bulan ini sunrise di Sikunir lagi cantik-cantiknya πŸ™‚

Leave a reply to yulianty Cancel reply