Pagi belum sempurna. Semesta masih teguh dalam semedi. Pucuk pohon dan rerumputan tertidur dalam pelukan embun. Tetapi saya dan Ika Maria sudah menggeber motor membelah dingin dan sunyinya jalan yang menghubungkan Desa Dieng Kulon dan Desa Sembungan.
Sebuah gapura besar bertuliskan “Welcome to Sembungan Village,” menjadi penanda bahwa kami sudah memasuki kawasan Sembungan. Terletak pada ketinggian lebih dari 2.300 m dpl menobatkan tempat ini sebagai desa tertinggi di tanah Jawa.
Berada di titik tertinggi menjadikan desa ini cukup menarik dan layak dikunjungi. Secara tampilan fisik, Desa Sembungan yang masuk dalam wilayah Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo ini tidak berbeda dengan desa-desa pada umumnya, namun desa ini memiliki budaya yang unik serta bentang alam yang mampu menjadi sanggraloka bagi jiwa. Bahkan, nama Sembungan telah dikenal oleh pelancong asing sejak tahun 1911. Hal tersebut berdasarkan catatan tertulis yang ada di negeri Belanda.

Salah satu yang memikat hati adalah keberadaan Telaga Cebong yang berdekatan dengan permukiman warga. Telaga seluas 5 hektar ini konon dinamakan Telaga Cebong karena bentuknya menyerupai kecebong alias bayi katak. Saat musim liburan, tepian Telaga Cebong kerap dihiasi tenda warna-warni dan dipenuhi pelancong yang camping. Meski di Sembungan telah tersedia banyak homestay, namun menginap di tenda tetap menjadi pilihan asyik menikmati dinginnya udara dataran tinggi Dieng.
Subuh itu tatkala saya tiba di areal parkir yang terletak di tepi telaga, suasana terlihat begitu hening dan damai. Permukaan telaga tersaput kabut tipis yang ditingkahi bias sinar purnama. Cantik. Penuh magi. Pantas saja salah satu band indie yang cukup populer di Indonesia sekaligus band kesayangan saya, Float, memilih tepian Telaga Cebong menjadi lokasi konser Float2Nature pada tahun 2012.
Mendadak saya membayangkan betapa syahdu dan romantisnya suasana konser kala itu. Di malam hari yang dingin, Float2Nature menghadirkan panggung terbuka dengan jajaran ladang kentang, Bukit Sikunir serta Telaga Cebong sebagai background nan megah, beratap langit, berlantai rerumputan. Pohon pinus, kabut dingin, taburan cahaya gemintang dan rembulan, aroma rumput dan tanah basah menjadi elemen pendukung yang begitu sempurna. Pantas saja jika konser eksklusif ini dihadiri pecinta musik dari berbagai tempat. Sayang, kala itu saya tidak bisa hadir menjadi saksi konser yang begitu menyatu dengan alam.
Pesona wisata Sembungan tidak hanya berhenti di Telaga Cebong. Jika dianalogikan sebagai makanan, Telaga Cebong barulah makanan pembuka, sedangkan menu utamanya adalah Bukit Sikunir. Konon, Sikunir merupakan salah satu tempat terbaik untuk menyaksikan matahari terbit. Bahkan pesonanya tak kalah jauh dengan sunrise Bukit Penanjakan Bromo yang sudah lebih dulu populer.
Dari Puncak Sikunir wisatawan bisa menyaksikan detik-detik munculnya bulatan keemasan dari balik cakrawala dengan latar gunung-gemunung yang bertudungkan halimun. Untuk mendapatkan pemandangan golden sunrise yang sempurna itu wisatawan harus datang di waktu yang tepat, yaitu antara bulan Juli hingga September.
Beruntung kami datang di saat yang tepat yakni bulan September. Setelah meninggalkan Telaga Cebong, kami melangkah tercepuk-cepuk di jalan makadam. Baru 5 menit berjalan, nafas kami terengah-engah. Rupanya berjalan kaki di ketinggian lebih dari 2.300 meter dpl dan suhu 10 derajat celcius benar-benar menyita energi.
Meninggalkan jalan berbatu, kami disambut jalan setapak tanah dengan rute mengular di pinggang bukit. Rute yang cukup terjal, udara dingin, dan angin yang menampar-nampar wajah membuat treking ini semakin terasa berat. Namun bayangan akan keindahan pesona mentari terbit membuat kami tak menyurutkan langkah.
Tak sampai 20 menit, kami sudah tiba di tempat yang cukup lapang dengan kursi kayu dan gazebo yang bisa digunakan untuk beristirahat. Namun itu belum puncak utama. Mas Sumardi yang menjadi penunjuk jalan kami menyarankan untuk naik hingga puncak.
“Di puncak pemandangannya jauh lebih indah mbak, kita juga bisa lihat Telaga Cebong dari atas,” katanya.
Kami pun menuruti petuahnya. Dan keputusan kami untuk mendaki hingga puncak adalah keputusan yang benar. Dari Puncak Sikunir kami bisa menyaksikan pertunjukan kolosal semesta tanpa terhalang apa pun. Pertunjukan pagi itu diawali dengan segaris warna jingga di horizon. Perlahan langit mulai berubah warna dari gelap, biru tua, menuju biru muda. Gugusan gunung-gemunung yang awalnya berupa siluet mulai terlihat dengan jelas.

Tak lama berselang, mentari yang memerah muncul dari kaki langit. Semakin lama semakin tinggi dan membesar serta mulai memancarkan sinar keemasan. Pada satu titik saya benar-benar tercekat. Ini adalah sunrise ter-epic yang pernah saya lihat. Jika Dieng memiliki arti sebagai Tanah Para Dewa, maka Desa Sembungan adalah istananya, dan Bukit Sikunir merupakan singgasana.
Pagi itu saya merasa menjadi seorang dewi yang sedang menanti mentari dari singgasana. Jiwa saya terasa begitu penuh. Rupanya benar, Desa Sembungan dan segala pesonanya adalah sanggraloka yang sempurna, sanctuary bagi jiwa. Kali ini saya merasakan dua hal yang dicari oleh orang-orang masa kini, yaitu kebahagiaan dan kedamaian.
Pengen banget ke Dieng Wonosobo dan sekitarnya. Moga-moga tahun depan bisa ke sana.
Kalo mau ke Dieng dan sekitarnya berkabarlah mbak, ini dekat dengan kampung halamanku. Siapa tau aku bisa nemenin ngetrip bareng. Ada banyak tempat asyik buat nenda kaya Gunung Prau & Tlaga Dringo yang konon “Ranu Kumbolo”nya Dieng 🙂
ke dieng 3 tahun lalu waktu masih single. kalau sekarang sudah ganda campuran.
paling suka pas di sikunirnya itu..
dapet golden dan silverr
Ini pun jalan-jalannya udah lama, mas. Jaman masih single. Sekarang sama, ganda campuran ahahahaha. Tapi Sikunir emang sunrisenya juwarak!