Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.
Soe Hok Gie “Catatan Seorang Demonstran”
“17an besok mau pergi ke mana?”
Sejak 5 atau 6 tahun terakhir ini, rasa-rasanya pertanyaan itu selalu muncul tiap mendekati 17 Agustus. Bahkan saya sendiri pun kerap menanyakannya kepada kawan yang biasa menjadi teman seperjalanan.
Saya tidak tau pasti dari mana awal mulanya, tapi sepertinya kini tanggal 17 Agustus identik dengan pergi ke suatu tempat (khususnya gunung) dan mengibarkan bendera di tempat tersebut. Katanya mengibarkan dwi warna merah putih di puncak-puncak gunung, di dasar lautan, di lorong-lorong gelap gua, dan di tempat-tempat eksotik lainnya yang sulit terjamah merupakan bukti cinta tanah air. Itu katanya.

Kalau saya boleh jujur sih saya mau bilang “pret!”. Cinta tanah air apanya kalau usai upacara 17an gunung-gunung malah penuh dengan sampah, vandalism dimana-mana, dan vegetasi rusak akibat jumlah pendaki yang berlebihan. Itu bukannya bukti cinta tanah air, tapi malah merusak alam.
Pikiran saya lantas melayang mundur jauh ke beberapa tahun belakang. Kala itu mentari belum sepenuhnya tenggelam. Saya dan seorang kawan sedang duduk bersisian di pantai berpasir putih sembari berbincang tentang hidup, karir, cinta, impian, serta isme-isme yang berjajar di rak buku usang. Intinya perbincangan kami saat itu sangat random.
Mendadak kawan saya mengajukan pertanyaan yang tak terduga. “Sash, seberapa besar cinta kamu sama Indonesia?” saya yang kaget dengan pertanyaannya pun terdiam cukup lama sebelum menjawab. Berawal dari pertanyaan tersebut lantas perbincangan kami melebar kesana kemari hingga membahas soal traveling dan nasionalisme.
Memangnya ada ya hubungannya jalan-jalan dan rasa nasionalisme? Ya jelas ada dong. Banyak orang bilang kalau jalan-jalan keliling Indonesia atau menyambangi tempat-tempat eksotik di negeri ini adalah bukti bahwa kita cinta tanah air. Saya sih tidak terlalu sepakat dengan itu. Pembuktian cinta dan rasa nasionalisme enggak asyik kalau hanya sesederhana itu. Kalau rasa nasionalisme hanya diukur dari lokasi kamu jalan-jalan, berarti mereka yang traveling ke luar negeri nantinya dibilang enggak nasionalis dong.
Bagi saya, jalan-jalan menjejalah Indonesia itu bukan sebagai pembuktian cinta melainkan cara saya belajar menumbuhkan rasa cinta. Jalan-jalan adalah cara saya untuk berinteraksi dengan orang-orang baru, cara saya untuk mempelajari budaya lain, cara saya untuk belajar memahami perbedaan, cara saya untuk mengenal lebih jauh tentang rupa negeri ini. Seperti kata Soe Hok Gie, “Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya”.
Jika selama ini menonton tayangan wisata di televisi atau melihat foto-foto yang bersliweran di dunia maya, kita hanya disuguhi yang indah-indah saja. Namun saat kita mengunjungi langsung tempat-tempat tersebut, kita akan menemukan banyak sekali kekurangan maupun keburukan. Entah tempat wisata yang kotor, pengelolaan yang tidak profesional, akses dan fasilitas yang buruk, petugas yang tidak ramah, kondisi masyarakat yang memprihatinkan, serta sederet hal lain yang membuat sudut bibir melengkung turun.
Lantas apakah hal tersebut menyurutkan langkah saya untuk berkelana? Apakah hal tersebut mematahkan semangat nasionalisme? Jawaban saya tidak.
Berjalan menyambangi daerah-daerah di Indonesia semakin membuat saya bangga akan negeri ini. Melihat Borobudur membuat saya tersadar bahwa nenek moyang kita benar-benar arsitek, insiyur, sekaligus seniman yang jenius sehingga mampu mencipta mahakarya yang begitu indahnya. Mencicipi aneka kuliner khas daerah menyadarkan saya bahwa orang Indonesia begitu ahli meracik bumbu dan kreatif memadukan bahan makanan sehingga tercipta olahan rasa memanjakan lidah. Menjejak di pantai berpasir putih, gunung gemunung, maupun lorong-lorong pengap gua menjadikan saya begitu takjub bahwa Tuhan telah menganugerahi Indonesia dengan bentang alam yang begitu cantik.

Rasanya sangat sayang jika semua hal itu dihapuskan oleh kekecewaan maupun kebobrokan yang kita jumpai di sepanjang jalan. Justru seharusnya saat melihat segala hal-hal yang buruk itu kita berusaha untuk berperan serta dalam memperbaikinya entah melakukan kritik langsung kepada pengelola dan pemerintah atau bergerak langsung bersama masyarakat dan komunitas guna membenahi hal-hal yang kita anggap mengecewakan. Karena mencaci-maki tanpa mencoba mencari solusi adalah omong kosong. Tak perlu koar-koar di social media, yang penting lakukan aksi nyata untuk perubahan.

Segala hal yang saya jumpai di sepanjang perjalanan menjadikan saya bangga dan mencintai Indonesia secara lengkap. Baik keindahan maupun keburukannya. Ibarat makanan, cinta saya ke Indonesia selayaknya cinta saya ke nasi padang. Saya tau makanan itu enggak sehat-sehat amat untuk tubuh, tapi tetap saja menjadi candu. Yang menginginkannya di negeri orang menyebabkan nelangsa yang berkepanjangan dan rindu yang tak berkesudahan. Cinta yang minimalis tapi realisitis. Datangnya memang dari perut, tapi jejaknya terus tertinggal di dalam hati.
Dan seharusnya semangat mencintai Indonesia tidak hanya berhenti pada fase menjejakkan kaki atau mengibarkan bendera dwi warna di tempat-tempat baru. Semangat mencintai Indonesia harus dilanjutkan dengan semangat berkarya dan berdaya untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik.
Tulisan ini disertakan dalam lomba “Jalan-jalan dan Nasionalisme” yang diadakan Travel On Wego Indonesia
Bagi saya, jalan-jalan menjejalah Indonesia itu bukan sebagai pembuktian cinta melainkan cara saya belajar menumbuhkan rasa cinta. —> sepakat dengan ini Sash
lomba blog ya..seperti pengen nyoba nulis juga 😀
Iya Kak Anno. Cobalah ikutan biar ramai 🙂
Saya juga suka nasi padang mbak Sash, bagus nih tulisannya. Memang layak jadi juara.
Nasi Padang emang nagih sih mbak hihihi. Terimakasih Mbak Prima 🙂
cie cie….selamat Bu…
Hihihi, hadiah agustusan mbak
filosofi ttg nasi padangnya bikin perut lapar dan jadi ide unt menu makan malam ini deh mbak hahahaha…btw selamat yaaaa, judul, tulisannya bener2 sedap…lezat, selezat nasi padang *mulai lebai ^^v