[1] Malam-malam di Candi Mendut

Biasanya orang berkunjung ke candi itu ya pagi, siang, atau sore hari. Jarang ada yang mengunjungi candi di malam hari kecuali pada saat perayaan semisal Waisak di Borobudur. Tapi saya termasuk bagian dari kelompok yang jarang itu, mengunjungi candi di malam hari dan bukan pada saat perayaan apapun.

Kunjungan saya ke candi di malam hari terjadi pada minggu-minggu awal Februari 2011. Awalnya tak ada niatan untuk mengunjungi Candi Mendut di malam hari, karena siangnya saya dan 2 orang kawan telah mengeksplorasi candi tersebut. Namun penjaga hotel di dekat Candi Borobudur berujar bahwa pada malam hari di Budhist Monastery yang terletak satu kompleks dengan Candi Mendut selalu ada prosesi chanting (semacam meditasi tapi dengan menyanyikan lagu-lagu pemujaan). Kami pun terjerat dengan ucapan manis yang keluar dari mulut mas penjaga, sehingga memutuskan untuk mengunjungi Budhist Monastery pada malam hari.

Sekitar pukul 5 sore, kami bertiga mengayuh sepeda beriringan dari kawasan Borobudur menuju Mendut dengan jarak tempuh beberapa kilometer. Awalnya kami hendak langsung mengunjungi monashtery, namun perut yang keroncongan memaksa kami berbelok ke warung  untuk makan malam terlebih dahulu. Sambil menikmati ikan bakar, kami pun ngobrol kesana-kemari sambil  tertawa riang hingga tanpa sadar telah pukul 20.00. Kami pun bergegas membayar makanan dan ngebut ke kompleks Candi Mendut.

Memasuki areal monashtery suasana tampak sepi. Seorang penjaga menyarankan kami untuk berjalan lurus jika hendak menyaksikan dan turut serta dalam prosesi chanting. Dengan mengendap-endap kami berjalan hingga sampai di depan bangunan yang berisikan 5 atau enam bikhu dengan pakaian khasnya dan sedang berdiskusi. Rupanya kami terlambat datang, prosesi chanting telah usai sejak tadi.

Berhubung sayang jika langsung kembali ke Borobudur, kami pun memutuskan untuk beranjak ke arah Candi Mendut dan berusaha mencari celah supaya bisa masuk. Rupanya gerbang candi telah dikunci, dan seorang satpam berjaga di kantor.

“Kalau pengen masuk candi kita harus punya alasan yang kuat, jangan cuma bilang pengen main aja,” kata kawan saya sambil berbisik.

“Terus alasan kita apa dong?” jawab saya.

“Bilang aja kita mahasiswa lagi penelitian”

“Ntar kalo ditanya kartu mahasiswanya? Surat ijinnya? Kita mau jawab apa? Lagipula tampang kita awut-awutan gini. Bapaknya mesti nggak percaya kalau kita mau penelitian”

“Lha njuk piye?”

“Wis gini aja, bilang kalo kita lagi ikut lomba motret wisata. Terus berhubung kita mewakili  Indonesia ke tingkat dunia maka fotonya harus spektakuler dan beda dari yang lain, makanya kita motret Mendut pas malam” jawab teman saya yang satunya.

Setelah berembug, kami bertiga sepakat dengan alasan terakhir meski aneh kedengarannya. Perlahan kami mendekati pak satpam dan mengajak ngobrol ngalor ngidul tentang keinginan kami. Awalnya pak satpam ragu, namun akhirnya beliau luluh dengan rayuan mawut maut kami bertiga, eh berdua ding soalnya mas juru sotret nggak ikutan ngrayu.

“Tapi jangan lama-lama yang mbak, 15 menit cukup ya! Saya takutnya nanti kalau ada pimpinan lewat malam-malam dan tau pintu candi kebuka kan saya yang kena masalah” pintanya.

“Beres Pak, 10 menit paling cukup, Cuma ngambil gambar budha yang kena sorot lampu aja kok!” jawab kawan saya meyakinkan.

Perlahan kami berempat pun memasuki areal candi yang gelap. Siluet mendut terlihat gagah di bawah taburan bintang malam. Eksotis sekaligus mistis berpadu menjadi satu. Saya pun menaiki anak tangga secara perlahan hingga tiba di depan relung dimana terdapat 3 patung budha berukuran besar di dalamnya.

Aroma hio bercampur dengan bunga langsung tercium, membuat bulu kuduk saya sedikit meremang. Ini pertama kalinya saya berada di candi pada malam hari. Mas juru sotret langsung beraksi mengambil gambar dari berbagai angle, dan saya menjadi asistennya. Memasang lilin di sana-sini untuk menambah pencahayaan. Saat saya sedang memasang lilin di sudut-sudut yang sulit dijangkau, mendadak suasana berubah menjadi begitu hening. Penasaran saya menoleh ke belakang, rupanya 3 orang lainnya sudah berdiri di luar relung candi, tinggal saya yang di dalam. Asyem! Rupanya saya ditinggal. Dasarnya penakut, saya pun segera berlari keluar menyusul mereka yang tengah berbincang di luar.

“Ada apa Sha?” tanya kawan yang melihat saya begitu tergesa dengan tampang ketakutan.

“Nggak ada apa-apa kok. Di dalam pengap, pengen cari udara segar,” kilah saya.

“Halah, bilang aja kamu takut kami tinggal hehehe”

Saya pun hanya tersenyum kecut. Nggak lagi-lagi deh main candi di malam hari. Saya terlalu penakut untuk hal seperti ini hehe.

7 thoughts on “[1] Malam-malam di Candi Mendut

  1. hahahaha…. koplak..
    itu deket candi situ ada rumahnya bulikku looh.. 😀

    Haha, iya emang absurd banget. Ini mau upload poto2nya tapi lelet banget modemnya 😆 Tau gitu mampir ya, Bel. numpang makan gratis haha. Ebetewe nyepeda borobudur-mendut PP bikin pegel juga lho 😉

  2. ditunggu poto-potonya, sash… pasti keren deh! 😀

    btw, sepertinya seru malam-malam nyepedah di sekitar candi, pengenn…. ;))

    Seru pake banget mbak, kapan2 nyobain sih. Ke Plaosan apa sambisari gitu pas malam2 & nyepeda terus pas purnama. Dijamin sensasinya bakalan beda 🙂

Leave a comment