Terimakasih, Seruni!

Hidup adalah proses sekaligus perjalanan panjang yang penuh dengan kejutan. Awalnya saya mengira setelah tanjakan terjal maka akan menemui jalan lurus yang datar berhiaskan bunga warna-warni di tepian serta kupu-kupu yang riuh berterbangan. Namun yang saya jumpai justru sebaliknya. Mendadak jalan yang saya lalui menikung tajam dan di depan terbentang turunan curam dengan jurang di kanan kirinya. Semua itu tidak pernah saya duga sebelumnya, hingga membuat saya begitu terkejut dan gagap dengan semua perubahan.

kita tak pernah tau apa yang menghadang di depan

Saya tau bahwa hidup memang dicipta tidak kokoh melainkan fragile dan mudah retak. Dan disitulah kita ditantang untuk melatih diri menghadapi setiap proses dan perubahan yang acap terjadi. Meski saya tau bahwa semua yang terjadi itu akan menaikkan level hidup saya, tetap saja ada yang berontak. Ada kekecewaan yang menumpuk, ada duka yang mengendap, dan banyak ketidakrelaan yang ahirnya menggerogoti hati. Saya limbung dan hampir tersungkur. Saya pun memilih untuk berhenti sejenak daripada memaksakan diri terus berlari namun akhirnya hanya menyakiti diri.

Dalam fase senyap dan berhenti dari segala hiruk pikuk, yang saya inginkan hanya satu. Pulang. Kembali ke rumah, ndeprok di pangkuan simbok, menangis dan meraung sepuasnya guna menumpahkan semua rasa yang bergemuruh. Namun ternyata saya tidak bisa melakukan itu. Tatapan teduh simbok entah mengapa membuat lidah saya kelu sehingga berujar bahwa hidup saya baik-baik saja.

Saya pun kembali ke Jogja degan beban yang masih menggunung. Dengan rasa gamang dan takut yang memenuhi pikiran. Saya perlu waktu untuk menenangkan diri dan hati. Oleh karena itu saat Mbak Rina bilang bahwa anak-anak hendak susur pantai selatan saya langsung mengiyakan. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, alam selalu berhasil menjadi penyembuh luka. Kembali ke alam selalu bisa membuat saya tenang.

Dengan memanggul ransel berisi pakaian ganti, mantel, 2 botol air minum, bahan makanan ala kadarnya, serta matras pinjaman, saya dan 5 orang kawan lain pun meluncur ke Gunungkidul pada sabtu sore yang cerah. Berbeda dengan ekspedisi biasanya yang didominasi kaum pria, maka kali ini formasi kami 5 cewek dan 1 cowok sebagai leader merangkap porter, chef, dan fotografer. Kami pun menyebut perjalanan kali ini sebagai Girls Day Out. Perjalanan para wanita untuk menyembuhkan hati, serta melarung masa lalu yang menyakitkan.

Kami tiba di Pantai Indrayanti saat rona senja mencium kening ombak. Mentari sudah jauh di barat dan langit mulai berganti rupa. Orang-orang yang menyemut di pinggiran pantai berhasil membuat kami geleng-geleng kepala. “Tahun lalu aku kesini masih bersih dan sepi, tapi sekarang kok udah rame banget dan kotor,” keluh seorang kawan. Saya pun mengiyakan dan mendadak ingat perbincangan dengan kawan di masa lalu “Salah satu alasan kenapa aku nggak suka mempublikasikan tempat-virgin-yang-baru-aku-temukan adalah aku nggak pengen tempat tersebut jadi rame dan terkontaminasi,” katanya. Terdengar egois. Dan kadang saya sependapat dengannya.

Meninggalkan Senja yang Menua di Indrayanti

Untunglah kali ini kami tak hendak menginap di Indrayanti. Kami pun mulai melangkah menyusuri tepian pantai. Awalnya kami menjejak pasir pantai yang halus. Namun lambat laun medan berubah menjadi batuan karang yang tajam dan terkadang licin karena dipenuhi rumput laut. Kami meninggalkan senja yang menua di belakang dan perlahan cahaya mentari benar-benar lindap berganti pekat. Headlamp dan senter pun mulai dinyalakan. Banyak orang bilang senjakala adalah saat dimana makluk jahat berkeliaran guna memburu anak-anak yang masih bermain di luar. Oleh karena itu semua aktivitasdi luar rumah harus dihentikan. Namun saat itu kami tak peduli dan menepis semua mitos buruk tentang sandekala. Kami tetap melanjutkan perjalanan berteman dendang ombak, taburan cahaya bintang, dan bayangan bulan sabit yang bergoyang di genangan air. Sesekali celoteh dan gelak tawa meluncur untuk mencairkan suasana.

Setelah melewati sekitar 4 hingga 5 pantai akhirnya kami tiba di Seruni. Tanpa basa-basi, saya langsung merebahkan diri di atas butiran pasir sambil menatap ribuan bintang yang sangat indah. Sesekali terlihat cahaya yang bergerak cepat. Bintang jatuh! Debur ombak dan gelak tawa terdengar bersahutan menjadi melodi pengiring malam. Malam yang sempurna! Tiba-tiba rasa panas, sakit, dan perih muncul di permukaan kulit. Rupanya ada kalajengking yang iseng merangkak dan menggigit leher saya. Ouch! Dengan panik saya pun mencari sesuatu yang bisa mengurangi rasa sakit dibantu Izah. Sedangkan Ika & Faa membakar kalajengking tersebut. Untunglah racunnya tidak terlalu kuat, sehingga pegal-pegalnnya tidak menyebar.

Sejenak berdiam diri mencari cahaya hati…

Usai makan malam dengan menu yang sehat kami pun melanjutkan dengan acara melacur alias melakukan curhat berjamaah. Tentu saja topik perbincangan bisa ditebak. Apalagi yang diobrolkan 5 orang cewek di tepi pantai pada malam yang indah dan sepi kalo bukan melulu masalah hati. Entah hati yang patah atau tercuri, hati yang ingin disinggahi, atau janji-janji yang belum tergenapi. Jika awalnya kami duduk melingkar di tepi api unggun sembari minum kopi dan coklat, akhirnya posisi berubah terlentang sesukanya sambil menatap bintang yang bersinar terang. Semakin malam perbincangan semakin random. Satu persatu kisah meluncur. Tentang hidup, tentang mimpi, tentang ketakutan-ketakutan, tentang perasaan gamang, tak lupa juga ucapan-ucapan yang menguatkan satu sama lain.

Saat malam semakin larut seseorang berujar “Berada disini kok membuatku lupa dengan semua penat dan masalah yang menghimpit ya. Padahal tadi pas mau berangkat masih suntuk banget!” Saya pun tertawa mengamini. Entah mengapa semua beban dan ketakutan yang kemarin-kemarin saya rasakan sirna begitu saja. Di tengah alam yang senyap ini saya merasa begitu bebas dan lepas. Air mata yang ingin saya tumpahkan sudah luruh bersama ombak yang menjauh. Duka yang menghimpit sudah lenyap bersama tiupan angin. Alam dengan caranya sendiri berhasil menyembuhkan kepedihan saya, bahkan menyuntikkan keberanian supaya tak takut lagi menghadapi dunia dan melewati semua jalan yang terbentang di depan.

Siapa yang tak jatuh hati dengan pagi seindah ini
inilah rumah tempat saya pulang…

Mungkin inilah yang disebut rumah. Tempat saya menemukan kedamaian. Tempat saya bisa meluruhkan semua rasa. Tempat yang benar-benar memahami saya. Tempat saya berdamai dengan masa lalu dan diri saya sendiri. Tepat saya ndeprok dan meraung dalam tangisan yang tak terucap. Ya, malam ini Seruni telah menjadi rumah tempat saya pulang dan menambatkan hati.

Samar-samar lagu berjudul “Cerita Tentang Gunung dan Laut” milik Payung Teduh mengalun pelan…

Aku pernah berjalan disebuah bukit
Tak ada air
Tak ada rumput
Tanah terlalu kering untuk ditapaki
Panas selalu menghantam kaki dan kepalaku

Aku pernah berjalan diatas laut
Tak ada tanah
Tak ada batu
Air selalu merayu
Menggodaku masuk ke dalam pelukannya

Tak perlu tertawa atau menangis
Pada gunung dan laut
Karena gunung dan laut
Tak punya rasa

Aku tak pernah melihat gunung menangis
Biarpun matahari membakar tubuhnya
Aku tak pernah melihat laut tertawa
Biarpun kesejukkan bersama tariannya

 

Menjadi kuat bukan berarti kamu tahu segalanya. Bukan berarti kamu tidak bisa hancur. Kekuatanmu ada pada kemampuanmu bangkit lagi setelah berkali-kali jatuh. Jangan pikirkan kamu akan sampai dimana dan kapan. Tidak ada yang tahu. Yor strength is simply your will to go on.  [Partikel, Dee]

Girl Go Wild! 🙂

 

Terimakasih Faa, Mbak Rina, Izah, & Ika untuk perjalanan yang luar biasa ini.
Dan kau Yula! Terimakasih banyak.
Indrayanti – Seruni, 23-24 Juli 2012

7 thoughts on “Terimakasih, Seruni!

  1. “kita tak pernah tau apa yang menghadang di depan”

    terus berjalan dan nikmati setiap perjalanan, begitu ya? aku kl kegiatan out door cm demen mancing hahaha… kl untuk capek2 dan ketinggian, wahhhh mikir dulu deh 😀

Leave a comment