Kelana & Secuil Rasa

Langit masih gelap dan semua masih terlelap, kecuali aku dan dua orang yang duduk di kursi bagian depan. Di tengah gelap ku periksa tempat duduk dan kantong celana serta jaket untuk mencari ponsel. Ternyata yang ku cari tak ada, rupanya semalam aku memasukkannya ke kantong depan ransel eiger yang setia menemani kemana-mana. Ku lihat batere ponsel masih cukup untuk melakukan panggilan.

Telpon, sms, telpon, sms, telpon, sms. Entah kenapa kali ini aku kebingungan. Ah bohong jika aku bilang kali ini. Rasanya tiap kali hendak menghubunginya aku selalu kebingungan. Bingung dengan cara apa hendak menghubungi supaya tau keberadaannya. Maklum, terlalu lama bercinta dengan alam raya membuatnya malas membawa piranti elektronik yang bisa menghubungkannya dengan dunia luar. Namun kali ini kebingunganku berbeda. Aku bingung antara hendak sms atau telfon guna menyapanya.

Meski kemarin dia sempat bilang “Just feel free if you wanna contact me. Everytime. Kalo aku masih bangun dan ada sinyal dan ada pulsa pasti aku balas. Janji deh. Aku gak bakal bikin kamu kelimpungan nyari aku lagi seperti beberapa bulan terakhir”. Ah, kau selalu berhasil membuatku meleleh, Bang! Tapi justru gara-gara dia berucap seperti itu aku menjadi sungkan untuk menghubunginya. Kapan ya terakhir kali aku sms? Uhmmm… Abis Jogja Java Carnival. SMS pertama sekaligus terakhir sejak dia memberikan nomor HPnya yang baru. Eh nggak ding. Saat aku membalas sms ulangtahun sekaligus belasungkawa yang dia kirimkan bulan lalu.

Hmm, sepertinya lebih baik sms, aku juga bingung hendak berucap apa jika dia mengangkat telponku. Ku ketik pesan di ponsel “Selamat pagi kumendan, tolong laporkan posisi anda sekarang ada di mana?”. Setelah memastikan bahwa pesan terkirim aku segera berbaring lagi. Ku lirik gadis mungil di sampingku yang berselimutkan kain pantai, dia masih asyik bermain di alam mimpi. Aku pun menyusulnya tidur lagi. Badan masih lelah dan mata masih mengantuk.

Matahari pun semakin tinggi, satu persatu bangun dan menikmati pagi di dalam kotak besi beroda empat yang membawa kami melaju ke barat. Beberapa pesan masuk ke ponselku, rata-rata menannyakan sudah sampai dimana, dan belum ada balasan dari dia. “Huft, paling melanglang buana lagi,” pikirku.

Tinimbang gelisah menunggu balasan darinya lebih baik aku menikmati perjalanan kali ini. Kulayangkan pandang ke kanan dan kiri. Hamparan sawah dan ladang pertanian menghijau, berdampingan dengan perbukitan serta gunung-gunung kecil. Beberapa orang terlihat sudah bekerja di sawah, beberapa lainnya beranjak menuju pasar maupun kantor untuk mencari sesuap nasi. Sedangkan anak-anak berseragam berangkat ke sekolah. Pemandangan pagi yang indah dan menentramkan.

Memasuki Tol Purbaleunyi hape saya bergetar pelan. Sebuah pendek masuk. Pesan yang sangat pendek. “Ada apa, Nona?” sepotong pesan yang tidak memberikan jawab namun malah ganti bertanya. Menyebalkan. Aku pun akhirnya memberanikan diri untuk menelepon.

“Piye nduk?” tanya suara di seberang tanpa basa-basi lebih dulu untuk menanyakan kabar atau bahkan sebatas berucap halo.

“Woi jelek, ditanyain gak jawab malah ganti tanya. Aku lagi di jalan mau ke Bandung. Mas dimana? Masih di Bandung kah?” jawabku tak kalah to the point.

“Ngapain ke Bandung?”

“Cuma mampir jemput temen, abis itu lanjut ke Jakarta. Ada acara disana. Mas dimana?”

“Di Jakarta acara apa?”

“Acara Kompasiana sama ngambil hadiah dari BHI di FX. Foto Jomblangku juara hehe,” jawabku dengan nada bangga dan pamer.

“Wow, selamat ya! Gitu dong, gak malu-maluin gurunya!”

“Ih ya ampun. Mas tuh nyebelin banget sih, dari tadi ditanya gak pernah jawab. Mas sekarang dimana?”

“Emang kenapa non?”

“Ya kali aja kalo di Bandung kan aku bisa seneng”

“Maksudnya?”

“Ya seneng aja, karena ada kamu di kota ini. Seneng karena tahu kita berada dalam satu tempat yang sama,”

“Halah, kamu itu ya. Melankolis kok dipelihara. Terus kalau kita sudah berada dalam satu kota njuk kamu meh ngapain?”

“Ya nggak ngapa-ngapain. Tapi kalo bisa ketemu aku bakalan seneng banget!”

“Aku yang nggak seneng”

“Lah? Kenapa?”

“Aku jadi makin sulit buat meninggalka…” tiba-tiba sambungan putus. Ternyata hapeku lowbat. Dem! Kenapa harus mati saat sedang serius? Padahal aku penasaran pengen dengar kelanjutan ucapannya. Tapi apa daya.

Sesampainya di ibukota akupun langsung mencari sumber listrik yang bisa kugunakan untuk mencharge HP. Untunglah di belakang kursi yang diduduki kawan-kawan ada colokan yang bisa digunakan. Setelah beberapa saat ponsel pun aku nyalakan kembali dan ada sebuah pesan masuk.

“Non, aku  pamit,  minggu depan bakalan ke Borneo. Ada kerjaan di sana & gak tau sampe kapan. Semoga 2012 gak kiamat jadi kita bisa ketemu lagi! Td aku coba tlp tapi hpmu mati”

“Eh tadi lanjutan omongan yg blm selesai itu apa?” balas saya tanpa mempedulikan pesannya.

“Aku bakalan berat buat pergi kalo ketemu kamu lebih dulu!”

Mendadak aku merasa limbung…

——————————–

Apa kabar hatimu hari ini?

Sedang berusaha mengendalikan rasa supaya tetap bersetia pada satu pria

 

 

9 thoughts on “Kelana & Secuil Rasa

  1. so sweeeeeeeeeeeett!!!! *jingkrak2 ala kuda delman*

    eh protes dikit ah, mentang2 eiger, kudu disebut ya? hahahahahahahaa

    Itu pesan sponsor mbak, hahaha.

  2. eh, kapan kamu telponnya, sash? koq aku ga denger ya? ;))

    Tidak semua hal kau ketahui, mbak. Aku ditelpon ibuku berkali-kali pun kamu paling juga nggak tau 😉

  3. “Hallo, mba sasha?” | “Maaf, ini Pizzanya sudah dateng mbak” :p #telpondeliverypizza

    melankolis :’)

    saya nggak suka pizza, boleh ganti klepon dan cenil saja kah? 🙂

  4. Waw, si Ninja in the hoy!!! Horeeee…..Akhirnya telepon!! Hahahaha……Hati yang kekobar-kobar lagi duenkkkkk…..Wani banget yooo…..mantep!

    Hahahaha, asyeeeeeem! keconangan. Upz, jangan buka kartu dong dek 🙂

Leave a reply to candra Cancel reply